Jumat, 08 Januari 2010

Bantahan Singkat Terhadap Keyakinan Syi’ah Tentang Mahdi Versi Mereka

Bantahan Singkat Terhadap Keyakinan Syi’ah Tentang Mahdi Versi Mereka
Sabtu, 06 Oktober 2007 - 04:42:44 :: kategori Aqidah
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
.: :.
Para ulama telah membongkar kebohongan Mahdi versi Syi’ah dan membantah tuntas syubhat-syubhat mereka.

Di antara para ulama yang telah melakukannya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, dan ulama-ulama masa kini. Untuk itu kami ringkaskan pembahasan berikut ini dari kitab Badzlul Majhud Fi Itsbati Musyabahatir Rafidhah Lil Yahud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili.

1. Al-Hasan Al-‘Askari sebagai bapak Al-Mahdi versi Syi’ah sebenarnya tidak mempunyai anak. Ia meninggal tanpa keturunan. Dan sungguh ini adalah hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang besar untuk membongkar kedok kedustaan mereka. Dan ini diakui oleh buku-buku Syi’ah sendiri seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, Al-Irsyad karya Al-Mufid, dan lain-lain.

2. Anggaplah kelahiran itu ada, tapi persembunyiannya yang lama ini membuat keberadaannya tiada arti. Ath-Thusi, ulama mereka, menyebutkan sebab tidak keluarnya adalah takut dibunuh. Ini adalah sebab yang dibuat-buat, karena dalam keyakinan mereka, ia akan muncul dan mendapat pertolongan dari Allah (Biharul Anwar, 52/191).

Lalu mengapa takut? Ataukah dia tidak beriman dengan berita-berita riwayat mereka itu? Demikian pula, bila dia takut dibunuh alias pengecut, maka ini –menurut mereka juga– tidak sesuai dengan syarat keimaman. Sebab, menurut mereka, syarat sebagai seorang imam adalah harus yang paling pemberani. (Al-Anwar An-Nu’maniyyah, 1/34)

3. Artinya pula, ia akan keluar nanti bila sudah aman. Lalu untuk apa keluar jika sudah aman, tidak ada perlunya?!

4. Sekarang negara Syi’ah sudah ada, yaitu Iran. Bukankah negara itu siap melindungi Mahdi mereka? Mengapa tidak keluar?

5. Kalau ia tidak bisa melindungi dirinya dari pembunuhan, bagaimana mau melindungi orang lain? Alasan yang dibuat-buat itu, justru menunjukkan bahwa Mahdi mereka memang tidak ada.

6. Mahdi mereka itu tidak ada maslahatnya dari sisi din dan dunia. Lebih-lebih di antara prinsip Syi’ah adalah bahwa hukum-hukum syariat tidak bisa dilaksanakan sampai munculnya Mahdi. Sementara Mahdi mereka hanya fiktif. Artinya, mereka hidup tanpa syariat.

Apakah ini bisa diterima oleh akal seorang muslim, siapapun dia? Oleh karenanya, mau tidak mau Khomeini (tokoh Syiah) harus mengakui realita ini, sehingga dia katakan: “Sesungguhnya, kita berada pada masa persembunyian besar (Mahdi) dan telah lewat masanya lebih dari 1.200 tahun… Sekarang sesungguhnya hukum-hukum Islam dan undang-undang syariat, apakah akan dibiarkan dan ditinggalkan sampai masanya muncul, supaya selama selang waktu persembunyian yang panjang masanya ini orang-orang menjadi tanpa beban, mereka berada dalam kebebasan semau mereka? Maknanya bahwa syariat Islam hanya untuk waktu yang terbatas. Dalam kurun waktu 1 atau 2 abad saja. Dan ini adalah termasuk penghapusan syariat Islam yang paling jelek yang kami tidak sependapat dengannya. Demikian pula tidak seorang muslim pun sependapat….” (Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal. 41-42, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Apa yang disebutkan oleh Khomeini bahwa keyakinan Al-Ghaibah (persembunyian Al-Mahdi) pada akhirnya mengarah kepada penghapusan syariat mereka. Ini adalah pendapat yang benar yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tampakkan melalui lisannya, untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala tegakkan hujjah atas mereka (orang-orang Syi’ah).” (Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Dari sini, mungkinkah Sunnah dan Syi’ah bergandeng tangan? Orang yang berakal tentu menjawab tidak mungkin. Hal itu bagaikan mencampur antara minyak dan air.

Atas dasar itu, maka segala ajakan menuju pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah adalah merupakan kesesatan dan upaya untuk mengubur al-wala` dan al-bara` serta menghapus identitas As-Sunnah dari Ahlus Sunnah.

Tidakkah kalian sadar –wahai pengikut aliran Syi’ah– akan kebatilan aqidah kalian ini? Dan ini baru satu masalah. Demikian pula aqidah-aqidah kalian yang lain. Tak jauh kebatilannya dari itu, bahkan banyak yang lebih batil darinya. Sadarlah dan kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam, Muhammad bin Abdillah Al-Qurasyi, Al-Hasyimi…

Wallahu a’lam.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=511

Penyimpangan-Penyimpangan dalam Perkara Al-Mahdi

Penyimpangan-Penyimpangan dalam Perkara Al-Mahdi
Sabtu, 06 Oktober 2007 - 04:38:02 :: kategori Aqidah
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
.: :.
Telah dikemukakan di awal pembahasan ini tentang sikap yang benar terhadap munculnya Al-Mahdi. Namun demikian, ada saja yang salah dalam menyikapi berita akan munculnya Al-Imam Al-Mahdi. Secara garis besar, kesalahan sikap tersebut dapat kita bagi menjadi tiga:

Pertama: mereka yang menggantungkan segala harapan akan munculnya Al-Mahdi, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa daulah Islam tidak akan tegak kecuali dengan kemunculannya. Dan ini berdampak kepada kemalasan untuk berbuat.

Kedua: mereka yang mengingkari munculnya Al-Mahdi atau meragukannya.

Ketiga: mereka yang memanfaatkan keyakinan ini demi kepentingan tertentu. Sehingga menjadikan kemunculannya sebagai momentum untuk meraih apa yang diinginkan, dengan cara mengaku-ngaku dirinya sebagai Al-Mahdi, atau menciptakan Al-Mahdi palsu.

Berikut ini perincian dari ketiganya:

Golongan pertama, di antara mereka adalah orang-orang Shufi (Sufi). Menjelaskan hal ini, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Ketahuilah wahai saudaraku muslim, banyak dari kaum muslimin telah menyeleweng dari kebenaran dalam masalah ini (Al-Mahdi). Sehingga di antara mereka ada yang keyakinannya telah tetap dalam dirinya bahwa daulah Islam tidak akan tegak kecuali dengan munculnya Al-Mahdi. (Keyakinan) ini adalah khurafat dan kesesatan yang dilontarkan oleh setan dalam banyak kalbu orang-orang awam, lebih khusus orang-orang Shufi di antara mereka. Padahal tidak ada sedikitpun dari hadits-hadits tentang Al-Mahdi yang menunjukkan demikian secara mutlak.…” (Ash-Shahihah, 4/42)

Golongan kedua, yang mengingkari munculnya Al-Imam Al-Mahdi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Di antara mereka ada yang bersama-sama kami dalam menentang orang yang mengaku-ngaku Mahdi. Akan tetapi begitu cepat ia mengingkari hadits-hadits shahih yang menerangkan akan munculnya Al-Mahdi di akhir zaman. Dengan penuh ‘keberanian’, dia menganggap bahwa hadits-haditsnya palsu dan hanya khurafat, serta menganggap bodoh para ulama yang menshahihkan hadits-haditsnya. Ia anggap bahwa dengan itu ia telah memangkas ekor para pengaku Mahdi yang jahat tersebut. Padahal dia dan yang semacamnya tidak tahu bahwa dengan cara semacam ini, terkadang bisa menjerumuskan kepada pengingkaran terhadap hadits-hadits tentang turunnya ‘Isa ‘alaihissalam juga, sementara hadits itu mutawatir. Dan inilah yang terjadi pada sebagian orang seperti Ustadz Farid Wajdi dan Syaikh Rasyid Ridha, serta selainnya. Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari fitnah para pengaku Mahdi dan para pengingkar hadits-hadits shahih dari Sayyidul Mursalin –untuk beliau seutama-utama shalawat dan sesempurna-sempurna salam–.” (Ash-Shahihah, 5/278)

Dalam kesempatan yang lain, beliau menjelaskan bahwa di antara yang mengingkarinya juga adalah Dr. Muhammad Al-Ghazali. Bahkan yang sampai mengingkari turunnya ‘Isa ‘alaihissalam juga adalah guru besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut (Ash-Shahihah, 4/43). Ini tentu cukup berbahaya bagi diri mereka sendiri serta bagi umat yang taqlid kepada mereka karena mereka dipandang sebagai tokoh Islam. Itu berarti mereka telah menolak berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana tidak samar lagi bagi kita ancaman terhadap orang yang semacam itu. Pengingkaran semacam ini di antaranya muncul sebagai reaksi terhadap golongan ketiga, yaitu mereka yang memanfaatkan berita munculnya Al-Mahdi sebagai celah untuk mencapai kepentingan mereka, atau sebagai reaksi terhadap keyakinan Syi’ah terhadap Al-Mahdi mereka yang penuh teka-teki. Tentu ini artinya menanggapi kebatilan dengan kebatilan.

Adapun yang meragukan kemunculan Al-Mahdi di antaranya adalah pakar sejarah yang cukup tersohor, yaitu Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Namun demikian, ia sempat mengatakan: “Ketahuilah bahwa telah dikenal di antara seluruh pemeluk Islam sepanjang masa bahwa pasti di akhir zaman nanti akan muncul seorang dari ahlul bait membela agama menebar keadilan... disebut Al-Mahdi.” Dan mau tidak mau ia harus mengakui keshahihan sebagian hadits-hadits tentang Al-Mahdi. Ia mengatakan: “Seperti yang engkau lihat, (hadits-hadits itu) tidak ada yang selamat dari kritik melainkan sedikit atau lebih sedikit dari itu….”

Menjawab pengaburan Ibnu Khaldun tersebut, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, mantan rektor Universitas Islam Madinah dan pengajar di Masjid Nabawi, melalui bukunya ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi Al-Muntazhar (hal 153), mengatakan: “Seandainya terjadi keraguan dalam perkara Al-Mahdi ini dari seseorang yang punya pengalaman dalam bidang hadits, tentu itu akan dianggap ketergelinciran darinya. Lalu bagaimana bila itu terjadi pada ahli sejarah yang bukan ahlinya (ilmu hadits)? Dan sungguh bagus apa yang dikatakan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam takhrij hadits-hadits Musnad Ahmad: ‘Adapun Ibnu Khaldun, ia telah mengikuti sesuatu yang dia tidak punya ilmu padanya dan menerobos sesuatu yang ia bukan ahlinya…’.”

Beliau juga mengatakan (hal.155): “Sesungguhnya yang sedikit (dari hadits) yang selamat dari kritik itu cukup untuk dijadikan hujjah dalam hal ini, dan (hadits) yang banyak yang tidak selamat dari kritik itu sebagai penguatnya. Padahal, (hadits) yang selamat dari kritik justru banyak.”

Beliau juga menukilkan ucapan ulama besar Shiddiq Hasan Khan rahimahullahu dalam bukunya Al-Idza’ah: “Tiada artinya meragukan perkara (Al-Mahdi) keturunan Fathimah yang dijanjikan dan ditunggu itu, yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil. Bahkan mengingkarinya merupakan ‘keberanian’ yang besar dalam menghadapi nash-nash yang banyak dan masyhur yang telah mencapai derajat mutawatir.”

Golongan ketiga, adalah orang-orang yang memanfaatkan berita kemunculan Al-Mahdi demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka, seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Minhajus Sunnah (8/259), tentu banyak jumlahnya.

Di antara mereka adalah:

1. Abdullah bin Maimun Al-Qaddah (meninggal 324 H), pendiri Daulah Fathimiyah di Maroko, dan meluas hingga ke Mesir dan lainnya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Namanya dan nama ayahnya tidak sesuai dengan Nabi. Dan dia beserta keluarganya adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan, para pemimpin sekte Isma’iliyyah yang dikatakan oleh para ulama: ‘Penampilan mereka Syi’ah, tapi batin mereka kekafiran yang murni’.” (Minhajus Sunnah, 4/100, lihat juga 8/258, lihat juga Al-Manarul Munif)

2. Abu Abdillah Muhammad bin At-Taumurt, yang dijuluki dengan Al-Mahdi, muncul di Maroko juga tahun limaratus sekian dan meninggal tahun 524 H. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Dia tidak memenuhi bumi semuanya dengan keadilan. Bahkan ia terjerumus dalam perkara-perkara yang mungkar, meski juga melakukan sebagian perkara yang baik.” (Minhajus Sunnah, 4/99, lihat juga 8/258)

Bahkan lebih dari itu, menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Manarul Munif, ia adalah seorang pendusta dan lebih dzalim dari Al-Hajjaj bin Yusuf (salah seorang penguasa di akhir zaman shahabat).

3. Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, pencetus aliran Ahmadiyyah atau Al-Qadiyaniyyah yang telah dikafirkan oleh para ulama dan lembaga-lembaga Islam resmi, semisal Al-Majma’ Fiqhi yang menginduk kepada Rabithah ‘Alam Islami, Majma’ Fiqhi Al-Islami yang menginduk kepada Munazhamah Al-Mu’tamar Al-Islami, dan Hai`ah Kibar Ulama Saudi Arabia, selain yang telah muncul dari fatwa ulama Mesir, Syam, Maroko, India, dan lainnya. (At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih hal. 2, karya Shalih bin Abdul Aziz As-Sindi, Dosen Aqidah di Universitas Islam Madinah).

Para pengikut aliran ini menganggap Mirza adalah sebagai Al-Mahdi yang dijanjikan. Dikatakan dalam salah satu buku mereka: “Maka yang dimaksud turunnya ‘Isa ibnu Maryam adalah diutusnya orang lain dari umat Muhammad yang menyerupai ‘Isa ibnu Maryam dalam sifat, aktivitas, dan keadaannya. Dan orang yang dijanjikan ini telah muncul di daerah Qadiyan, India, dengan nama Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai Imam yang Mahdi (mendapat petunjuk). Allah menjadikannya seperti Al-Masih putra Maryam. Maka dialah yang dijanjikan, dan dialah Al-Imam Al-Mahdi untuk umat Muhammad yang telah dijanjikan Rasulullah untuk diutusnya dengan mengatakan: ‘Tiada Mahdi kecuali ‘Isa.’ (Ibnu Majah Kitabul Fitan).” (Wafatul Masih Ibni Maryam wal Murad min Nuzulihi. Kami nukil dari kitab At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih hal. 3. Lihat pula Ash-Shahihah, 5/278)

Sudah barang tentu, ini keyakinan yang batil dan dusta belaka. Sifat-sifat Mahdi dalam hadits-hadits yang shahih tidak ada pada dirinya. Lalu ia membangun keyakinannya ini di atas keyakinan kematian ‘Isa, yang ini jelas batil menyelisihi Al-Qur`an, hadits, dan ijma’ muslimin. Adapun hadits yang terakhir mereka sebutkan, itu adalah hadits yang mungkar, dha’if. Hadits itu telah di-dha’if-kan oleh Al-Imam An-Nasa`i, Adz-Dzahabi, Al-Albani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Qurthubi, dan Ibnu Taimiyyah serta Ash-Shaghani. Lihat Minhajus Sunnah (8/256), Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah karya Al-Haitami (2/476), As-Silsilah Adh-Dha’ifah no. 77). [dinukil dari At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih, hal. 3. Lihat juga Minhajus Sunnah, 4/101)

4. Muhammad bin Abdillah Al-Qahthani, muncul dari hasil provokasi Juhaiman bin Saif Al-‘Utaibi, dan ia sekaligus menjadi juru bicaranya.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram tahun 1400 H. Mereka masuk ke Al-Masjidil Haram dengan bersenjata dan meminta secara paksa orang-orang untuk membai’atnya sehingga menyebabkan kekacauan dan ketakutan, sampai-sampai menumpahkan darah sekian banyak orang. Bukan keadilan dan kasih sayang yang mereka tebar, melainkan kekerasan dan rasa takut serta darah mereka tumpahkan. Dan alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala padamkan api fitnah mereka melalui tangan-tangan ahli tauhid di kerajaan Saudi Arabia dalam waktu yang singkat. (Al-Irhab, Zaid Al-Madkhali, hal. 15-16)

5. Lia Aminuddin, dengan sektenya God’s Kingdom of Eden (Kerajaan Tuhan) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Salamullah, mengaku, pada tahun 1998, Malaikat Jibril telah menyampaikan wahyu dari Tuhan dan membaiatnya sebagai Imam Mahdi. Ia juga mengklaim, anaknya yang bernama Ahmad Mukti adalah penjelmaan Nabi Isa. Tak cukup hingga di sini. Pada tahun 2003, ia

mengaku telah diangkat dan ditunjuk sebagai Jibril Ruhul Kudus.

Inti ajaran Lia Eden ini adalah campuran ajaran berbagai agama yang ada, yang dikemas atau berkedok Islam.

6. Kelompok Qiyadah Islamiyah. Ini juga merupakan aliran “model campuran” sebagaimana komunitas Eden. Aliran yang banyak menggunakan simbol dan bahasa Islam itu kini banyak tersebar di sejumlah kota di Indonesia.

“Rasul” mereka adalah Michael Muhdats yang diklaim sebagai Al-Masih Al-Maw’ud (Al-Masih yang dijanjikan). Mengaku mendapat wahyu di Gunung Bunder, Desa Pamijahan, Bogor pada tahun 2006.

Inti ajarannya, Islam yang telah dibangun Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah rusak sehingga dia diutus untuk memperbaikinya.

7. Kelompok Syi’ah atau Rafidhah. Termasuk penyimpangan yang sangat menggelikan sekaligus menyedihkan adalah keyakinan Syi’ah Rafidhah terhadap Mahdi versi mereka.

Mahdi versi Syi’ah demikian fenomenal sekaligus penuh misteri. Di antara inti aqidah mereka adalah meyakini 12 imam, yang terakhir dari mereka adalah Mahdi yang muncul di akhir zaman. Mahdi versi mereka ini bernama Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari, yang mereka juluki juga dengan Al-Hujjah atau Al-Qa`im (yang bangkit). Menurut mereka, ia lahir pada tahun 255 H lalu bersembunyi di sirdab1 (gua) di daerah Surra man ra`a/Samarra`. Tak jemu-jemu orang Syi’ah menunggu keluarnya. Sejak saat itu hingga kini, bahkan mungkin nanti mereka akan terus menunggunya. Namun sungguh nahas, penantian yang tak kunjung tuntas, karena itu hanya khurafat yang tak berdasar. Padahal, bagi pengikut Syi’ah Rafidhah, keluarnya Mahdi adalah segala-galanya. Pelaksanaan syariat mereka tergantung padanya. Ya, sekali lagi, memang penuh fenomena dan misteri. Apalagi bila anda mengetahui sifat-sifat Mahdi versi mereka seperti disebut dalam buku-buku kepercayaan mereka sendiri sebagaimana berikut ini:

Mahdi Syi’ah dari Keturunan Husain

Tokoh Syi’ah, Ath-Thusi, meriwayatkan dalam bukunya Al-Ghaibah (hal. 115), dari Zaid bin ‘Ali bahwa ia mengatakan: “Al-Muntazhar (yang ditunggu) ini adalah dari anak turun Husain bin ‘Ali, dalam keturunan Husain bin ‘Ali.”

Mahdi Syi’ah Dikandung dan Dilahirkan dalam Waktu Semalam

Dalam riwayat mereka, bahwa Hakimah –bibi Al-Hasan Al-‘Askari (ayah Al-Mahdi)– mengatakan: Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali2 (ayah Mahdi mereka, pent.) mengutus seseorang kepadaku dengan pesan: “Wahai bibi, jadikan buka puasamu malam ini di rumah kami. Karena ini adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Dan Allah pada malam hari ini akan menampakkan Al-Hujjah. Dia merupakan hujjah Allah di muka bumi.”

Akupun mengatakan: “Siapakah ibunya?”

Ia menjawab: “Narjis.”

Kukatakan kepadanya: “Semoga Allah jadikan aku tebusanmu, tidak ada tanda-tanda padanya (tidak hamil, pent.).”

Ia menjawab: “Itu (seperti) yang kukatakan padamu.”

Aku pun datang, maka ketika kuberi salam dan aku duduk datanglah dia (Narjis) melepaskan khuf (semacam kaos kaki)ku dan mengatakan kepadaku: “Wahai tuanku, bagaimana keadaanmu sore ini?”

“Bahkan engkaulah tuanku dan tuan keluargaku,” tukasku.

Dia pun mengingkari ucapanku itu seraya mengucapan: “Apa ini?!”

Aku menjawab: “Wahai ananda, sesungguhnya pada malam ini Allah akan memberimu seorang anak yang menjadi pemimpin di dunia dan akhirat.”

Kemudian aku berbaring dan aku tidur. Lalu aku keluar melihat fajar, tiba-tiba aku sudah berada di waktu fajar (yang sinarnya) bagaikan ekor serigala, sementara (Narjis) masih saja tidur.

Hakimah mengatakan lagi: “Maka aku terasuki keraguan. Abu Muhammad (Al-Hasan -ayah Mahdi mereka, pent.) pun berteriak dari majelisnya: ‘Jangan buru-buru, wahai bibiku, sesungguhnya urusannya sudah dekat.’.”

Hakimah mengatakan: “Lalu aku terjangkiti rasa letih. Demikian juga dia (Narjis). Lalu ia tersadarkan ketika (Al-Hasan) menyingkap bajunya darinya. Ternyata (jabang bayi) Al-Mahdi sudah dalam keadaan sujud menempel bumi dengan anggota sujudnya.” (Kamaluddin wa Tamamul Minnah hal. 424-425, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/240)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Dongeng ini tidak lain adalah salah satu dari serentetan dongeng-dongeng yang banyak dalam buku-buku Syi’ah Rafidhah, yang menggambarkan kelahiran Al-Mahdi yang diklaim mereka. Aku sebutkan sekedar untuk contoh, dan lainnya masih banyak.”

Saat Munculnya Mahdi Syi’ah, Semua Pegikutnya Datang dari Seluruh Tempat

Jangan dikira yang hidup saat itu saja, bahkan yang matipun akan hidup lagi untuk menyambut seruannya!!

Dalam riwayat mereka disebutkan dari Abu Abdillah ‘alaihissalam, bahwa ia ditanya: “Berapa lama Al-Qa`im (Al-Mahdi) berkuasa?”

Ia menjawab: “Tujuh tahun. Hari-hari dan malamnya memanjang sehingga bagi kelompoknya satu tahun seukuran 10 tahun kalian. Dan bila datang waktu bangkitnya, orang-orang tertimpa hujan pada bulan Jumadil Akhir dan 10 hari dari Rajab dengan hujan yang para makhluk tidak pernah melihat sepertinya. Lalu Allah tumbuhkan dengannya daging-daging dan badan kaum mukminin dari kubur mereka, seolah aku melihat mereka datang dari arah Juhainah mengibas rambut mereka dari tanah.” (Al-Iqhadh minal Haj’ah hal. 249, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/241)

Mahdi Syi’ah Mengeluarkan Para Sahabat dari Kubur Mereka dan Menyiksa Mereka

Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa Al-Majlisi meriwayatkan dari Basyir An-Nabbal, dari Abu Abdillah, bahwa ia mengatakan: “Apakah kamu tahu apa yang pertama kali dilakukan oleh Al-Qa`im (Al-Mahdi) ‘alaihissalam?”

“Tidak,” jawabku. Ia mengatakan: “Ia akan mengeluarkan dua orang ini (Abu Bakr dan ‘Umar, pent.) dalam keadaan segar, lalu membakar keduanya dan menebarkan (abu keduanya) pada tiupan angin, dan ia akan menghancurkan masjid.” (Biharul Anwar, 52/386, Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/242)

Dalam riwayat yang lain, juga akan mencambuk ‘Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (idem, hal. 314)

Mahdi Syi’ah Memberangus Bangsa Arab, Lebih-lebih Quraisy

Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa Abu Ja’far mengatakan: “Seandainya orang-orang tahu apa yang dilakukan oleh Al-Qa`im ketika munculnya, tentu kebanyakan mereka lebih suka bila tidak menyaksikannya, karena pembunuhannya terhadap manusia. Adapun dia, tidak memulai itu kecuali dengan Quraisy. Tidak ia ambil dari mereka kecuali pedang, dan tidak dia berikan kecuali pedang. Sehingga kebanyakan manusia mengatakan: ‘Dia bukan dari keluarga Muhammad. Seandainya dia dari keluarga Muhammad tentu akan memberi kasih sayang’.” (An-Nu’mani, Al-Ghaibah hal. 154, Biharul Anwar 52/354, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili,1/244)

Mahdi Syi’ah Menghancurkan Ka’bah, Al-Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Seluruh Masjid

Dalam riwayat mereka, dari Al-Mufadhal bin ‘Umar, ia bertanya kepada Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq beberapa pertanyaan tentang Al-Mahdi dan hal ihwalnya. Di antaranya: “Wahai tuanku, apa yang ia akan perbuat dengan Al-Bait (Ka’bah)?”

Dijawab: “Ia akan membongkarnya sehingga tidak menyisakan kecuali fondasi yang itulah awalnya diletakkan untuk manusia di Makkah di masa Adam, dan yang darinya dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il.” (Ar-Raj’ah karya Al-Ahsa`i, hal. 184, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/245)

Dalam riwayat mereka juga disebutkan dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Sesungguhnya bila Al-Qa`im bangkit, ia mengembalikan Al-Baitul Haram kepada fondasinya, dan Masjid Rasullulah kepada fondasinya, serta masjid Kufah kepada fondasinya.” (idem)

Dari Abu Ja’far juga, ia berkata: “Bila Al-Qa`im bangkit, ia akan menuju ke kota Kufah. Di sana ia akan menghancurkan empat masjid, dan tidak ada satu masjid pun di muka bumi yang punya kemuliaan kecuali ia akan hancurkan dan akan ia jadikan sebagai gundukan bebatuan.” (Al-Irsyad karya Al-Mufid hal. 365, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/246)

Mahdi Syi’ah Mengajak kepada Agama Baru, Kitab Baru, dan Keputusan yang Baru

Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa An-Nu’mani meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia mengatakan: “Al-Qa`im bangkit dengan agama yang baru, kitab yang baru, dan keputusan yang baru. Keras terhadap bangsa Arab, tidak ada urusan dengan mereka kecuali dengan pedang, tidak memberi kesempatan seorang pun untuk bertobat, dan ia tidak peduli di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela.” (Al-Ghaibah hal. 154, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/244)

Mahdi Syi’ah Berhukum dengan Hukum Keluarga Nabi Dawud

Dalam riwayat mereka disebutkan melalui kitab Basha`ir Ad-Darajat dari Abu Abdillah bahwa ia mengatakan: “Bila Al-Qa`im dari keluarga Muhammad bangkit, dia akan berhukum dengan hukum Dawud dan Sulaiman. Ia tidak akan bertanya tentang bukti kepada manusia.” (hal. 278, karya Ash-Shaffar, Al-Kulaini menyebutkan juga dalam kitabnya, 1/398, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/249)

Tidak Ada Kaitan Sama Sekali Antara Mahdi Ahlussunah dengan Mahdi Syi’ah Rafidhah

Nampak sudah dengan jelas walau sekilas, perbedaan antara sifat-sifat Mahdi Ahlus Sunnah dengan Syi’ah. Karena itulah para ulama menegaskan kenyataan ini.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam bukunya Al-Manarul Munif, setelah menyebutkan tiga pendapat tentang Mahdi: “Adapun Ar-Rafidhah Al-Imamiyyah (Syi’ah) punya pendapat yang keempat, yaitu bahwa Mahdi itu adalah Muhammad bin Hasan Al-‘Askari Al-Muntazhar (yang ditunggu), dari putra Husain bin ‘Ali, bukan dari Al-Hasan, yang hadir di berbagai negeri (menurut anggapan mereka, pent.) tapi tidak kasatmata, yang mewariskan tongkat (kekerasan, pent.) dan menutup padang sahara. Dia masuk ke gua Samarra` semasa kanak-kanak sejak lebih dari 500 tahun3. Setelah itu, tidak satu mata pun melihatnya. Tidak pernah pula didengar beritanya atau tandanya. Sementara mereka terus menunggu setiap hari berdiri dengan kuda di mulut gua serta berteriak memanggilnya agar keluar menuju kepada mereka: ‘Keluarlah wahai tuan kami.’ Lalu mereka kembali dengan hampa. Inilah tingkah mereka. Sungguh, mereka telah menjadi aib bagi Bani Adam dan lelucon yang setiap orang berakal mencemoohnya.”

Ibnu Katsir rahimahullahu, ketika hendak menjelaskan Mahdi Ahlus Sunnah, beliau mengingatkan seraya mengatakan: “Dia bukanlah yang ditunggu-tunggu dan diklaim oleh Rafidhah dan diharapkan oleh mereka untuk muncul dari gua Samarra`. Karena hal itu tidak ada kenyataannya, tidak ada orangnya dan bekasnya.” (An-Nihayah Fil Fitan, 1/15, Program Maktabah Syamilah)

Beliau juga mengatakan (1/17): “Sehingga keluarlah Mahdi dari negeri timur, bukan dari sirdab Samarra`, sebagaimana sangkaan orang-orang bodoh Rafidhah bahwa ia ada di dalamnya sekarang, dan mereka menunggu keluarnya di akhir zaman. Karena sesungguhnya ini adalah sejenis igauan dan kehinaan yang besar, kegilaan yang parah dari setan. Karena tidak ada dalil dan buktinya, baik dari Al-Qur`an atau As-Sunnah, atau akal yang sehat dan nalar yang baik.”

Wallahu a’lam.

1 Sirdab adalah sebuah tempat tinggal atau bangunan dalam tanah, biasa dipakai untuk berteduh di saat cuaca panas. Namun di sini kami terjemahkan dengan gua untuk mempermudah dan menyingkat.

2 …bin Muhammad Al-Jawwad bin Ali Ali Ar-Ridha bin Musa Al-Kadhim bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Tambahan nasab ini dari kami, untuk memperjelas nasabnya. (Lihat Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 2/71-72)

3 Ini di masa beliau. Adapun sekarang, sudah lewat lebih dari 1.150 tahun.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=509

Imam Mahdi adalah Keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Imam Mahdi adalah Keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Sabtu, 06 Oktober 2007 - 04:49:34 :: kategori Aqidah
Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
.: :.
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

لاَ تَذْ هَبُ الدُّنْيَا حَتىَّ يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي

Dari Abdullah (yakni Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, pent.) berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan sirna (berakhir) dunia ini sampai ada seorang laki–laki dari keluargaku yang akan memimpin bangsa Arab, namanya sesuai dengan namaku.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu no. 4282, lihat Sunan Abu Dawud ta’liq Asy-Syaikh Albani rahimahullahu (cet. Maktabah Al-Ma’arif), dan Al-Imam At–Tirmidzi rahimahullahu no. 2156, lihat Mausu’atul Haditsisy Syarif Al-Kutubut Tis’ah (CD Program).

Hadits ini merupakan potongan dari sebuah hadits yang selengkapnya adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ - قَالَ زَائِدَةُ فِى حَدِيْثِهِ - لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ اليَوْمَ ثُمَّ اتَّفَقُوا حَتىَّ يَبْعَثَ فِيْهِ رَجُلاً مِنِّي - أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي- يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِى. زَادَ فِي حَدِيْثِ فِطْرٍ: يَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا. وَقَالَ فِى حَدِيْثِ سُفْيَانَ: لاَ تَذْهَبُ أَوْ لاَ تَنْقَضِى الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي. قاَلَ أَبُوْ دَاوُدَ: لَفْظُ عُمَرَ وَأَبِى بَكْرٍ بِمَعْنىَ سُفْيَانَ وَلَمْ يَقُلْ أَبُوْ بَكْرٍ: الْعَرَبَ

Dari Abdullah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kalau saja tidak tersisa dari dunia ini kecuali sehari saja, (Za`idah berkata dalam haditsnya) sungguh Allah akan memanjangkan hari tersebut sampai Allah mengutus kepadanya seorang laki-laki dari keturunanku atau dari keluargaku. Namanya sesuai dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.”
Terdapat tambahan pada hadits Fithr: “Yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) dunia telah dipenuhi dengan kedzaliman dan kelaliman.”
Dan berkata pada hadits Sufyan: “Tidak akan berakhir dunia ini sampai ada seorang dari keluargaku yang akan memimpin bangsa Arab, namanya sesuai dengan namaku.”
Abu Dawud mengatakan: “Lafadz (hadits) dari jalan ‘Umar dan Abu Bakr semakna dengan jalan yang berasal dari Sufyan dan dalam hal ini hanya saja Abu Bakr tidak mengatakan/menyebutkan: lafadz الْعَرَبَ.

Jalur Periwayatan
Pada Sunan Abu Dawud, beliau rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari jalan ‘Umar bin ‘Ubaid bin Abi Umayyah Ath-Thanafisi Abu Hafsh Al-Kufi, Abu Bakr bin ‘Ayyasy bin Salim Al-Asadi Al-Kufi, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri Abu Abdillah Al-Kufi, Za`idah bin Qudamah Ats-Tsaqafi Abu Ash-Shalt Al-Kufi, dan Fithr bin Khalifah Al-Makhzumi Abu Bakr Al-Hanath Al-Kufi.
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Abi An-Najud (Bahdalah) Al-Asadi Abu Bakr Al-Muqri` Al-Kufi, dari Zirr bin Hubais Al-Asadi Abu Maryam Al-Kufi, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedudukan sanad hasan shahih. (Lihat Sunan Abi Dawud tashih Asy-Syaikh Albani rahimahullahu cet. Maktabah Al-Maarif)

Diagram Periwayatan
Setelah memaparkan riwayat di atas, Abu Dawud mengatakan: “Lafadz hadits ‘Umar bin ‘Ubaid dan Abu Bakr bin ‘Ayyasy semakna dengan lafadz hadits Sufyan bin Sa’id. Hanya saja, Abu Bakr tidak menyebutkan kata العَرَبَ (bangsa Arab).” Kemudian beliau menyebutkan riwayat yang semakna dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (dengan sanad shahih, pent.) dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu (dengan sanad hasan, pent.)
Adapun dalam Sunan At-Tirmidzi, beliau meriwayatkan dari jalan Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud, dengan lafadz: “Tidak akan berakhir dunia ini sampai seorang laki-laki dari keluargaku yang akan memimpin bangsa Arab, namanya serupa dengan namaku.”
Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Pada bab ini terdapat riwayat dari shahabat yang lain, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Salamah, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Dan Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
Kemudian dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud dengan lafadz: “Akan memimpin seorang laki-laki dari keluargaku, namanya serupa denganku.”
Kemudian terdapat riwayat dari ‘Ashim bin Bahdalah, ia berkata: Abu Shalih telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: “Kalau saja tidak tersisa dari dunia ini kecuali sehari saja, sungguh Allah akan memanjangkan hari tersebut sampai seorang laki-laki dari keluargaku memimpin.”
Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Lihat CD Program Kutubut Tis’ah)

Penjelasan Hadits
- Abdullah dalam hadits ini adalah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi.
- Makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َتىَّ يَبْعَثَ فِيْهِ رَجُلاً مِنِّي أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي

“Hingga diutus padanya seorang laki–laki dari keturunanku atau dari keluargaku.”
Dia adalah Al-Mahdi, keturunan dari Fathimah radhiyallahu ‘anha seperti yang tersebut dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي، مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ

“Al-Mahdi berasal dari keturunanku, keturunan dari Fathimah.” (HR. Abu Dawud no. 4284, At-Tirmidzi, Ibnu Majah no. 4086)
- Muncul perselisihan, apakah Al-Mahdi itu anak keturunan dari Al-Hasan ataukah anak keturunan dari Al-Husain.
Al-Qari` dalam bukunya Al-Mirqah (seperti yang tersebut dalam ‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud) berkata: “Yang mungkin dalam hal ini adalah menggabungkan antara dua nisbah, Hasan dan Husain. Yaitu, dari sisi ayah ia anak keturunan Hasan, dari sisi ibu ia anak keturunan Husain. Hal ini sebagai bentuk pengkiasan terhadap perkara yang terjadi pada kedua anak Ibrahim ‘alaihissalam yaitu Isma’il ‘alaihissalam dan Ishaq ‘alaihissalam, di mana para nabi dari Bani Israil semuanya dari anak keturunan Ishaq ‘alaihissalam. Adapun Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak keturunan Isma’il ‘alaihissalam. Kemudian beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menduduki suatu tempat yang mewakili segenap para nabi yang berasal dari keturunan Ishaq. Dan inilah sebaik-baik (kedudukan) sebagai pengganti. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjadi penutup para nabi.
Demikian pula, tatkala nampak atau muncul banyaknya para pemimpin dan para pembesar umat dari anak-anak keturunan Husain, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala gantikan kepada Hasan dengan dianugerahkan baginya seorang anak yang menjadi penutup para wali, dan menduduki tempat yang mewakili segenap orang-orang pilihan yang berasal dari keturunan Husain.
Pendapat lain mengatakan, tatkala beliau mengundurkan diri dari kekhalifahan, Allah Ta'ala anugerahkan kepada beliau tanda kekuasaan yang menyeluruh. Maka sisi keserasiannya secara menyeluruh adalah nisbah ke-Imam Mahdi-an disetarakan dengan kenabian. Dan keduanya sepakat untuk menjunjung tinggi kalimat millah nabawiyyah (agama seluruh para nabi).
Dan yang lebih memperjelas dari perkara ini adalah hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Ishaq, ia berkata: ‘Ali bin Abi Thalib berkata –sambil melihat kepada putranya Al-Hasan–: “Sesungguhnya anakku ini sayyid (pemuka), sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamainya. Dan akan lahir dari keturunannya seorang laki-laki yang akan dinamai seperti nama nabi kalian. Ia menyerupai nabi kalian dalam hal fisik, namun berbeda dalam hal sifat.’ Kemudian beliau mengisahkan bahwa ia akan memenuhi dunia dengan keadilan. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, CD Program dalam Mausu’atul Haditsisy Syarif Al-Kutubut Tis’ah)
Walaupun hadits ini lemah, namun terdapat hadits-hadits shahih yang menunjukkan keutamaan Al-Hasan di atas keutamaan Al-Husain. Di antaranya:

بْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Anakku ini adalah sayyid (pemuka) dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 3746 dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)
Makna ucapan Nabi: يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي yakni يُوَافِقُ وَيُطَابِقُ اسْمُهُ اسْمِي. Artinya, namanya sesuai dengan namaku, yaitu Muhammad bin Abdillah. Pada kalimat ini terdapat bantahan yang jelas terhadap kaum Syi’ah Rafidhah dari sekte Al-Imamiyyah atau Itsna Atsariyyah yang berpendapat bahwa orang yang ditunggu (Al-Mahdi Al-Muntazhar) ialah Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari.
Makna ucapan Nabi: لاَ تَذْهَبُ adalah لاَ تَفْنَى artinya tidak akan musnah atau binasa (berakhir).
Adapun makna ucapan:حَتَّى يَمْلِكَ العَرَبَ artinya akan memimpin bangsa Arab. Dikhususkan penyebutan bangsa Arab, karena mereka yang menjadi asal mula keturunan manusia dan yang paling mulia.
Hadits di atas menyebutkan bahwa munculnya Al-Imam Al-Mahdi sebagai salah satu tanda hari kiamat, seperti yang disebutkan oleh Al-Khathib At-Tibrizi Muhammad bin Abdillah dalam kitabnya Misykatul Mashabih, bab Asyrathus Sa’ah Al-Fashlu Ats-Tsani no. hadits 5452.
Hadits di atas juga menerangkan dengan jelas bahwa Al-Imam Al-Mahdi yang akan muncul ialah seorang laki-laki keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari keluarga beliau, yaitu dari keturunan Fathimah dari keturunan Hasan. Namanya dan nama ayahnya sama dengan nama dan nama ayah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerupai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi fisik, namun tidak sama dalam sifat. Wallahu a’lam.

Beberapa Hadits Dhaif tentang Al-Mahdi

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ، فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ، فَيَأْتِيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيُخْرِجُونَهُ وَهُوَ كاَرِهٌ، يُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ، وَيَبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنْ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةِ، فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ، َيُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ، فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيَظْهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ، وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ، وَالْخَيْبَةُ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيْمَةَ كَلْبٍ، فَيَقْسِمُ الْمَالَ، وَيَعْمَلُ فِي النَّاسِ بِسُنَّةِ نِبِيِّهِمْ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُلْقِي اْلإِسْلاَمُ بِجِرَانِهِ إِلَى اْلأَرِضِ، فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِيْنَ، ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّي عَلَيْهِ الْمُسْلِمُوْنَ. قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ: قَالَ بَعْضُهُمْ عَنْ هِشَامٍ: تِسْعَ سِنِيْنَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: سَبْعَ سِنِيْنَ.

Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Nabi, beliau bersabda:
“Akan terjadi perselisihan saat wafatnya seorang khalifah, maka keluarlah seorang laki-laki dari penduduk Madinah melarikan diri ke Makkah. Kemudian manusia dari penduduk Makkah mendatanginya dan mengeluarkan dari tempatnya. Kemudian mereka pun membai’atnya di suatu tempat di antara rukun Ka’bah (Hajar Aswad) dan Maqam Ibrahim, sedangkan ia membenci hal itu. Setelah itu dikirimlah pasukan dari Syam (untuk menyerangnya), namun pasukan itu dibinasakan oleh Allah di antara Makkah dan Madinah. Ketika manusia melihat hal itu, maka ia didatangi oleh pemuka-pemuka negeri Syam dan Iraq untuk membai’atnya. Tidak lama kemudian muncullah seorang laki-laki dari kaum Quraisy yang didukung oleh paman-pamannya yang gigih. Akhirnya laki-laki itu mengalahkan khalifah tersebut. Itulah pasukan yang tangguh. Dan sungguh merugilah bagi mereka yang tidak sempat turut serta dengannya. Laki-laki itu membagi-bagikan ghanimah serta mempraktikkan Sunnah Nabinya dan meneguhkan Islam di muka bumi. Hal itu berlangsung selama tujuh tahun, hingga akhirnya ia meninggal dan dishalati oleh kaum muslimin. Abu Dawud berkata: Sebagian (perawi) dari Hisyam berkata: “Sembilan tahun.” Sebagian lagi berkata: “Tujuh tahun.” (Lihat Adh-Dha’ifah no. 1965)

َالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - وَنَظَرَ إِلَى ابْنِهِ الْحَسَنِ - فَقَالَ: إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ كَمَا سَمَّاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَيَخْرُجُ مِنْ صُلْبِهِ رَجُلٌ يُسَمَّى بِاسْمِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشْبِهُهُ فِي الْخَلْقِ وَلاَ يُشْبِهُهُ فِي الْخُلُقِ ثُمَّ ذَكَرَ قِصَّةً: يَمْلأُ اْلأَرْضَ عَدْلاً

‘Ali berkata –sembari ia melihat kepada anaknya, yakni Hasan– lalu berkata: “Sesungguhnya anakku ini adalah pemuka, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya. Dan akan lahir dari keturunannya seorang laki-laki yang dinamai seperti nama Nabi kalian. Ia menyerupai wajah Nabi kalian, namun berbeda dalam sifatnya.” Lalu ia menyebutkan sebuah kisah bahwa ia akan memenuhi bumi dengan keadilan. (lihat Al-Misykah no. 5462)1

َنْ هِلاَلِ بِنْ عَمْرٍو قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ وَرَاءِ النَّهْرِ يُقَالُ لَهُ الْحَارِثُ بنُ حَرَّاثٍ، عَلَى مُقَدِّمَتِهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مَنْصُوْرٌ، يُوَاطِىءُ - أَوْ يُمَكِّنُ لِآلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَمَا مَكَّنَتْ قُرَيْشٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَبَ عَلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ نَصْرُهُ - أَوْ قَالَ: إِجَابَتُهُ -

Dari Hilal bin ‘Amr, aku telah mendengar Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan keluar dari negara yang berada di belakang sungai seorang yang bernama Al-Harits bin Harrats, yang berada di depan seorang yang bernama Manshur. Ia mengukuhkan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana suku Quraisy memberikan kedudukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wajib bagi setiap mukmin menolongnya –atau ia berkata: menaatinya–.” (Lihat Al-Misykah no. 5458)
Wal ‘ilmu ‘indallah wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim. (Ilmunya ada di sisi Allah, dan di atas setiap orang yang berilmu, masih ada orang yang lebih berilmu.)

1 Hadits ini dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu Lihat Sunan Abu Dawud no. 4290 (cet. Maktabah Al-Maarif) dan Al-Misykah no. 5458.

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=513

Mahdi, yang Diimani dan Dinanti

Mahdi, yang Diimani dan Dinanti
Sabtu, 06 Oktober 2007 - 04:20:44 :: kategori Aqidah
Penulis: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
.: :.
Keyakinan terhadap Imam Mahdi adalah salah satu tonggak penting dari pilar-pilar keimanan yang mesti kita imani. Sebab, kemunculannya di penghujung zaman menjadi salah satu penanda besar akan datangnya hari kiamat. Tinggal bagaimana kita menerjemahkan keyakinan itu dalam bingkai akidah yang lurus.

Bagi seorang muslim, tentu bukan satu yang asing bila disebutkan kepadanya tentang rukun-rukun iman. Sudah menjadi tradisi dalam lingkup pendidikan Islam, rukun-rukun iman diajarkan bahkan dihafal semenjak usia bocah. Rukun-rukun iman merupakan perwujudan dari dasar-dasar akidah Islam. Salah satu unsur dalam rukun-rukun iman tersebut yaitu adanya keimanan terhadap Hari Akhir.

Beriman kepada Hari Akhir merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda keimanan kepada perkara ghaib. Satu perkara yang sulit dijangkau oleh akal, ilmu pengetahuan, dan hanya bisa melalui pendekatan keimanan yang sempurna melalui pemahaman nash dari jalan wahyu.

Masalah Hari Akhir ini merupakan perkara yang teramat penting. Ayat-ayat dalam Al-Qur`an pun banyak mengangkat tema ini saat membicarakan masalah yang bersifat keimanan. Sebagai misal:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ...

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir….” (Al-Baqarah: 177)

ذَلِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ...

“Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir….” (Ath-Thalaq: 2)

Hidup, dalam pandangan Islam, tak sekadar berkutat dalam alam mayapada ini, yang fana, singkat dan terbatas sekali. Sesungguhnya, hidup, dalam pandangan Islam merupakan satu masa yang panjang yang berada dalam zaman keabadian, yang menempati ruang (dan waktu) di alam lain, yaitu surga yang luasnya seluas langit dan bumi, atau neraka yang dahsyat siksanya.

Sesungguhnya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir serta apa yang ada di dalamnya, yaitu menyangkut pahala dan siksa, mampu mengarahkan tingkah laku manusia untuk berbuat kebajikan. Tak ada satu pun sistem perundangan yang dibuat manusia yang mampu mengarahkan perilaku manusia ke arah semacam itu, kecuali dengan menanamkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir.

Inilah yang membedakan bentuk perilaku pada manusia. Seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir, mengetahui bahwa dunia ini hanya sekadar ladang akhirat, sedangkan amal-amal yang shalih merupakan sebaik-baik bekal untuk akhirat. Tentu akan berbeda dengan seorang yang tanpa keimanan tersebut.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Sebagaimana telah diperbuat seorang sahabat mulia, ‘Umair ibnul Humam Al-Anshari radhiyallahu 'anhu yang memperoleh kesyahidan dalam perang Badr. Kurma yang ada padanya dibuang tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bangkitlah, menuju surga seluas langit dan bumi.”

“Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” ‘Umair balik bertanya. Jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya.”

Kata ‘Umair, “Bagus, bagus.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apa yang membuatmu mengucapkan ‘bagus, bagus’?”

“Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah, melainkan karena saya menaruh harapan menjadi penghuni surga itu,” jawab ‘Umair. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya engkau termasuk penghuninya.”

Maka dia lantas mengeluarkan beberapa butir kurma dari kantung anak panahnya. Dia pun memakan sebagian kurma itu lantas berucap, “Jika saya hidup hingga memakan kurma-kurma itu, sungguh yang demikian ini sekadar (menunda) untuk hidup lebih lama lagi.”

Diapun bergegas seraya melempar butir-butir kurma tersebut, dan tandang ke gelanggang medan pertempuran Badr. Dia terbunuh dalam pertempuran tersebut. (Shahih Muslim, dengan syarah Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, Kitab Al-Jihad, Bab Tsubut Al-Jannah lisy Syahid, no. 4892)

Maka, nampak beda. Perilaku seorang yang tidak didasari keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir dengan seorang yang hatinya diliputi keimanan. Beda. Seorang yang mengimani adanya pahala dan siksa, yang menatap jauh ke depan akan adanya timbangan langit, bukan timbangan bumi, adanya hisab akhirat bukan lantaran perhitungan dunia. Karenanya, dia akan memiliki sikap hidup tersendiri. Akan terpancar padanya sikap istiqamah, luas pandangan dan memiliki kekokohan ilmu. Teguh saat menghadapi beratnya hidup, sabar tatkala musibah mendera. Yang diharapkan hanyalah ganjaran dan pahala. Dia akan benar-benar mengetahui dan yakin bahwa apa yang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Asyrath As-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, hal. 27-28)

Inilah buah keimanan terhadap Hari Akhir. Bagi seorang mukmin, ia akan mengarahkan setiap langkahnya dalam kehidupan di dunia ini guna kehidupan di akhiratnya kelak. Dirinya mengharap dan senantiasa berupaya agar di Hari Akhir nanti tak muncul penyesalan sebagaimana digambarkan ayat berikut:

أَنْ تَقُوْلَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِيْنَ. أَوْ تَقُوْلَ لَوْ أَنَّ اللهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ. أَوْ تَقُوْلَ حِيْنَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُوْنَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Agar jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olok (agama Allah)’. Atau, supaya jangan ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.’ Atau, supaya jangan ada yang berucap saat melihat adzab: ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik’.” (Az-Zumar: 56-58)

Penyesalan tinggallah penyesalan. Kala Hari Akhir itu tiba, maka tiada guna lagi penyesalan. Semua petaka itu terjadi karena diri larut dalam hawa nafsu, menjauh dari nilai-nilai syariat. Setiap keterangan yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya ditentangnya. Dia berupaya menampik apa yang telah dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dengan alasan ‘tidak rasional’ atau ‘tidak masuk akal’. Seakan-akan nilai Islam hanya sebatas kapasitas akalnya. Sesuatu yang di luar akalnya, ditolak dan ditentangnya meski itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Keimanan tiada lagi tertancap di hatinya. Dia sombong dan mendustakan keterangan-keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

“(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (Az-Zumar: 59)

Bagi seorang muslim, ia harus mengedepankan keimanannya. Termasuk dalam mengimani tanda-tanda yang bakal muncul menjelang terjadinya Hari Kiamat. Satu di antara tanda-tanda itu adalah akan munculnya Al-Mahdi.

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Al-Mahdi akan muncul pada akhir zaman, sebelum Nabi ‘Isa ‘alaihissalam turun. Dia seorang laki-laki keturunan ahlul bait. Melalui dia, Allah Subhanahu wa Ta’ala kokohkan agama. Dia akan berkuasa selama tujuh tahun. Pada masanya bumi ditaburi dengan keadilan sebagaimana kelaliman dan kezhaliman sempat meliputi bumi sebelumnya. Umat merasakan nikmat di bawah kekuasaannya dan belum pernah ada kenikmatan yang dirasakan seperti itu. Bumi mengeluarkan tetumbuhan, langit mengguyuri dengan hujan. Kala itu, harta diberikan tanpa batas. (Asyrath As-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah Al-Wabil, hal. 249, At-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah, Al-Qurthubi, hal. 517)

Al-Mahdi yang diyakini Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah seorang laki-laki yang bernama seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nama ayahnya seperti nama ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, dia bernama Muhammad atau Ahmad bin Abdillah. Dia dari keturunan Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berasal dari Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma. Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu dalam An-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hal. 45), disebutkan nama Al-Mahdi adalah Muhammad bin Abdillah Al-‘Alawi Al-Fathimi Al-Hasani.

Berbeda dengan Syi’ah. Al-Mahdi di kalangan mereka adalah penghuni bangunan di bawah tanah, yaitu imam keduabelas dari silsilah al-imamiyyah al-itsna ‘asyariyyah. Dia bernama Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari, seorang imam al-muntazhar (yang ditunggu) kemunculannya dari tempat persembunyiannya di Samarra`. (lihat Kitabul Imamah war Radd ‘alar Rafidhah, karya Al-Hafizh Abu Nu’aim Al-Ashbahani rahimahullahu, hal. 116)

Maka, sosok Al-Mahdi yang disebutkan kalangan Syi’ah Rafidhah adalah sosok yang batil. Ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يُبْعَثَ فِيْهِ رَجُلٌ مِنِّي أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي، يَمْلَأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جُوْرًا وَظُلْمًا

“Andai tak tersisa lagi di dunia kecuali satu hari yang Allah panjangkan hari itu sehingga akan muncul seorang laki-laki dari keturunanku atau dari ahli baitku, yang namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku, (saat itu) bumi dipenuhi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi dengan kelaliman dan kezhaliman.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)

Maka sesungguhnya lafadz:

يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي

“Namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku.” (menunjukkan) bahwa Al-Mahdi yang dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namanya Muhammad bin Abdillah bukan Muhammad bin Al-Hasan. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdi Kalami Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu hal. 95)

Orang-orang Syi’ah berkeyakinan bahwa Al-Mahdi tengah sembunyi. Sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Abu Nu’aim Al-Ashbahani rahimahullahu yang mengutip pernyataan Al-Kulaini (seorang ulama terkemuka Syi’ah) dalam kitabnya Al-Kafi, bahwa Al-Mahdi yang diyakini kaum Syi’ah terhalangi kemunculannya karena takut dibunuh. Lantas, dia akan muncul dari dalam bangunan bawah tanah Samarra. (Kitabul Imamah war Radd ‘ala Ar-Rafidhah, hal. 116)

Maka perkataan kaum Syi’ah yang meyakini Al-Mahdi menetap dalam bangunan bawah tanah Samarra merupakan waham dan sekadar mitos belaka. Seperti diungkapkan Ibnu Katsir rahimahullahu dalam An-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hal. 44), bahwa keyakinan orang-orang Rafidhah dungu yang menyatakan bahwa Al-Mahdi sekarang berada di bangunan bawah tanah Samarra dan mereka akan menunggu munculnya pada akhir zaman nanti; merupakan satu bentuk igauan yang hina dari setan. Sebab, tidak ada dalil maupun keterangan sama sekali baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah. Tidak pula dari akal yang shahih dan istihsan.

Menukil pernyataan Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad dalam risalah beliau Ar-Raddu ‘ala Man Kadzaba bil Ahadits Ash-Shahihah Al-Waridah fil Mahdi wa ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi, disebutkan bahwa jumlah sahabat yang telah meriwayatkan hadits-hadits tentang Al-Mahdi sebanyak 26 orang sahabat. Beliau pun menyebutkan nama-nama sahabat tersebut. Lantas diikuti dengan nama-nama para imam yang meriwayatkan hadits-hadits dan atsar al-waridah tentang Al-Mahdi yang terdapat dalam kitab-kitab mereka sejumlah 36 imam. Kemudian disertakan juga nama-nama yang menulis kitab tentang masalah Al-Mahdi. Sesungguhnya tidak ada kaitan antara akidah Ahlus Sunnah dengan Rafidhah dalam masalah Al-Mahdi.

Disebutkan juga oleh beliau bahwa hadits-hadits tentang Al-Mahdi berjumlah banyak yang telah dituliskan oleh para penulis. Hadits-hadits tersebut diungkapkan dalam bentuk mutawatir di kalangan jamaah. Keyakinan yang wajib, di kalangan Ahlus Sunnah dan selainnya seperti Asya’irah, menunjukkan kenyataan yang kuat dan tidak diragukan lagi. Berita tentang Al-Mahdi itu benar-benar akan terjadi di akhir zaman. Dan tidak ada kaitan sama sekali secara hakikat yang kuat (Al-Mahdi) di kalangan Ahlus Sunnah dengan akidah Syi’ah. Karena, keyakinan Syi’ah, bahwa (Al-Mahdi) yang akan keluar adalah Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu kemunculannya) bernama Muhammad bin Al-Hasan al-‘Askari dari garis keturunan Al-Husain radhiyallahu 'anhu. Maka, apa yang diyakini kaum Syi’ah ini secara hakiki tidak ada. Keyakinan mereka yang dinisbatkan terhadap Al-Mahdi menurut versi mereka tidak ada asal-usulnya. Secara hakikat, Al-Mahdi yang menjadi keyakinan kaum Syi’ah dibangun atas dasar akidah waham. Tidak nyata, tidak ada wujudnya. Kecuali masalah keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib dan puteranya, Al-Hasan radhiyallahu 'anhuma. Dan keduanya, ‘Ali bin Abi Thalib dan Al-Hasan, berlepas diri dari kaum Syi’ah dan segala bentuk keyakinan mereka tanpa diragukan lagi. (Lihat Kitabul Imamah war Radd ‘ala Ar-Rafidhah, Al-Hafizh Abu Nu’aim Al-Ashbahani, tahqiq dan ta’liq Dr. ‘Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi, hal. 120)

Pernyataan Asy-Syaikh Abdul Muhsin di atas cukup memberi penjelasan terutama terhadap kalangan yang menolak akan munculnya Al-Mahdi pada akhir zaman. Penolakan ini sebagaimana dinyatakan Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Disebutkannya, bahwa hadits-hadits tentang Al-Mahdi satu dengan lainnya saling bertentangan. Misal, nama Al-Mahdi adalah Muhammad bin Abdullah, sedangkan riwayat lain –seperti dinyatakan Syi’ah Imamiyyah– adalah Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari. Maka anggapan bahwa hadits-hadits Al-Mahdi itu kontradiktif, muncul lantaran adanya riwayat-riwayat yang tidak shahih. Sedangkan pada hadits-hadits yang shahih, tidak ada pertentangan sama sekali. (Asyrath As-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah Al-Wabil, hal. 267 dan 270)

Karenanya, meyakini akan munculnya Al-Mahdi sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih adalah sebuah keniscayaan. Ini merupakan bagian dari keyakinan (i’tiqad) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=506

Mengenal Al-Imam Al-Mahdi

Mengenal Al-Imam Al-Mahdi
Sabtu, 06 Oktober 2007 - 04:23:32 :: kategori Aqidah
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
.: :.
Syariat sejatinya telah gamblang menjelaskan definisi dan menyuguhkan gambaran akan sosok Al-Imam Al-Mahdi. Namun bersemainya penyimpangan tak pelak menjadikan gambaran Al-Imam Al-Mahdi itu menjadi kabur.

Beriman akan Munculnya Al-Imam Al-Mahdi

Telah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengimani segala yang diberitakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana ini menjadi konsekuensi persaksian kita: “Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar melainkan Allah dan agar mereka beriman kepada apa yang kubawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim, Kitabul Iman Bab Al-Amru bi Qitalin Nas Hatta.)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tegaskan:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Ini menunjukkan wajibnya beriman dengan segala yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berita yang terkait dengan apa yang telah lalu atau yang akan datang. Termasuk di antaranya adalah akan munculnya Al-Imam Al-Mahdi.

Berita akan munculnya sosok penegak sunnah nan adil itu telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Bahkan tak sedikit dari para ulama yang menyatakan bahwa haditsnya mencapai derajat mutawatir secara makna, sehingga tiada lagi celah bagi siapapun untuk mengingkarinya. Di antara ulama yang menyatakan kemutawatiran hadits-haditsnya adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain As-Sijzi (wafat 363 H), Muhammad Al-Barzanji (wafat 1103 H), As-Safarini, As-Sakhawi, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al-Kattani, dan lain-lain rahimahumullah.

Dan para ulama yang menyebutkan keshahihan hadits tentang Al-Mahdi sangat banyak, dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu telah menyebutkan sebagian nama mereka, di antaranya 16 ulama yang saya sebutkan sebagiannya: Abu Dawud, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar rahimahumullah.

Sehingga ini menjadi salah satu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. As-Safarini mengatakan: “Telah banyak riwayat yang menyebutkan akan munculnya Al-Mahdi sehingga mencapai derajat mutawatir secara makna. Dan itu telah tersebar di kalangan Ahlus Sunnah sehingga teranggap sebagai aqidah mereka….” –beliau menyebut hadits, atsar serta nama para sahabat yang meriwayatkannya, lalu beliau berkata– “Dan telah diriwayatkan dari para sahabat yang disebutkan dan selain mereka dengan riwayat yang banyak, juga dari para tabi’in setelah mereka, yang dengan semua itu memberi faedah ilmu yang pasti. Maka mengimani munculnya Mahdi adalah wajib sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama dan tertulis dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, 2/84)

Beberapa Hadits tentang Al-Imam Al-Mahdi

1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ - قَالَ زَائِدَةُ فِي حَدِيْثِهِ - لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ فِيْهِ رَجُلاً مِنِّي - أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي - يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيهِ اسْمَ أَبِي، يَمْلَأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا

“Bila tidak tersisa dari dunia kecuali satu hari –Za`idah (salah seorang rawi) mengatakan dalam haditsnya– tentu Allah akan panjangkan hari tersebut, sehingga Allah utus padanya seorang lelaki dariku –atau dari keluargaku–. Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kedzaliman dan keculasan.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud, Shahih Sunan no. 4282; sanadnya jayyid menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Al-Manarul Munif; At-Tirmidzi no. 2230, 2231; Ibnu Hibban no. 6824, 6825)

2. Dari ‘Ali (bin Abi Thalib) radhiyallahu ‘anhudari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ الدَّهْرِ إِلاَّ يَوْمٌ لَبَعَثَ اللهُ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَمْلَؤُهَا عَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا

“Bila tidak tersisa dari masa ini kecuali satu hari, tentu Allah akan munculkan seorang lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kecurangan.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4283 Kitab Al-Mahdi dan ini adalah lafadznya, Ibnu Majah no. 4085, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi)

3. Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ

“Al-Mahdi dari keluargaku dari putra Fathimah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan ini lafadznya, Shahih Sunan no. 4284, Ibnu Majah no. 4086, dan Al-Hakim no. 8735, 8736)

4. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

الْمَهْدِيُّ مِنِّي، أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ، يَمْلَأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِيْنَ

“Al-Mahdi dariku, dahinya lebar, hidungnya mancung, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kedzaliman, berkuasa selama 7 tahun.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4285 dan ini lafadznya, Ibnu Majah no. 4083, At-Tirmidzi, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a Fil Mahdi no. 2232, Ibnu Hibban no. 6823, 6826 dan Al-Hakim no. 8733, 8734, 8737)

5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ؟

“Bagaimana dengan kalian jika turun kepada kalian putra Maryam, sementara imam kalian dari kalian?” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitab Ahaditsul Anbiya` Bab Nuzul ‘Isa ibni Maryam, no. 3449; Muslim dalam Kitabul Iman Bab Fi Nuzul Ibni Maryam, 2/369, 390)

6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. قَالَ: فَيَنْزِلُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا، فَيَقُوْلُ: لاَ، إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ

“Masih tetap sekelompok dari umatku berperang di atas kebenaran. Mereka unggul sampai hari kiamat, lalu turun ‘Isa putra Maryam. Maka pemimpin mereka mengatakan: ‘Kemari, jadilah imam kami.’ Ia menjawab: ‘Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’.” (Shahih, HR. Muslim dalam Kitabul Iman Bab La Tazal Tha`ifah min Ummati, 2/370, no. 393)

Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ini menunjukkan dua hal:

Pertama: Ketika turunnya ‘Isa bin Maryam dari langit, yang memegang kepemimpinan muslimin ketika itu adalah seorang dari mereka.

Kedua: Keberadaan pemimpin mereka untuk shalat, lalu ia mengimami muslimin, serta permintaannya kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam saat turunnya untuk mengimami mereka. Ini semua menunjukkan keshalihan pemimpin tersebut dan bahwa ia berada di atas petunjuk.

Dan (dalam hadits) itu walaupun tidak ada penegasan dengan lafadz Al-Mahdi, tetapi menunjukkan sifat orang yang shalih yang mengimami muslimin di waktu itu. Dan terdapat hadits-hadits dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad serta lainnya, yang menerangkan bahwa hadits-hadits yang ada dalam dua kitab shahih itu menunjukkan bahwa orang shalih tersebut bernama Muhammad bin Abdullah dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali, yang disebut dengan Al-Mahdi. Dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagiannya menerangkan sebagian yang lain. Di antara hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang diriwayatktan oleh Al-Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnad-nya dengan sanadnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمُ الْمَهْدِيُّ: تَعَالَ، صَلِّ بِنَا. فَيَقُوْلُ: لاَ، إِنَّ بَعْضَهُمْ أَمِيْرُ بَعْضٍ، تَكْرِمَةُ اللهِ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ

“Isa putra Maryam turun, lalu pemimpin mereka Al-Mahdi mengatakan: ‘Imamilah kami’. Ia menjawab: ‘Sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’.”

Hadits ini dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Manarul Munif: “Sanadnya bagus.” (Abdul Muhsin Al-‘Abbad, ‘Aqidatu Ahlil Atsar. Lihat pula Ash-Shahihah, no. 2236)

Nama Al-Imam Al-Mahdi dan Nasabnya

Nama beliau adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Seperti dalam hadits yang lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan: “Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.”

Dia dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana disebutkan dalam riwayat: “Dari ahli baitku.” (HR. Abu Dawud, no. 4282 dan 4283)

Dalam riwayat lain: “Dari keluarga terdekatku (‘itrah-ku).” (HR. Abu Dawud, no. 4284)

Dalam riwayat lain: “Dariku.” (HR. Abu Dawud no. 4285) dari jalur perkawinan ‘Ali bin Abu Thalib dan Fathimah bintu Rasulillah. Sebagaimana dalam hadits yang lalu dikatakan: “Seseorang dari keluargaku” dan “dari anak keturunan Fathimah.” (HR. Abu Dawud no. 4284)

Oleh karenanya, Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Dia adalah Muhammad bin Abdillah Al-‘Alawi (keturunan Ali) Al-Fathimi (keturunan Fathimah) Al-Hasani (keturunan Al-Hasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaikinya dalam satu malam yakni memberinya taubat, taufik, memberinya pemahaman serta bimbingan padahal sebelumnya tidak seperti itu.” (An-Nihayah fil Malahim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)

Sifat Fisiknya

Di antara sifat fisiknya adalah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud (no. 4285) dan yang lain:

أَجْلَى الْجَبْهَةِ

Artinya, “Tersingkap rambutnya dari arah kepala bagian depan,” atau “Dahinya lebar.”

أَقْنَى اْلأَنْفِ

“Hidungnya mancung, ujungnya tajam, bagian tengahnya agak naik.”

Al-Qari mengatakan: “Maksudnya, beliau tidak pesek, karena yang demikian adalah bentuk yang tidak disukai.”

Menebar Keadilan

Di antara sifat Al-Mahdi adalah bahwa ia menebar keadilan dan melenyapkan kedzaliman serta keculasan. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezhaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4282, 4283, 4285)

Sehingga disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

يَكُوْنُ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ إِنْ قَصَرَ فَسَبْعٌ وَإِلاَّ فَتِسْعٌ فَتَنْعَمُ فِيْهِ أُمَّتِي نِعْمَةً لَمْ يَنْعَمُوا مِثْلَهَا قَطُّ تُؤْتَى أُكُلَهَا وَلاَ تَدَّخِرُ مِنْهُمْ شَيْئًا وَالْمَالُ يَوْمَئِذٍ كُدُوْسٌ فَيَقُوْمُ الرَّجُلُ فَيَقُوْلُ: يَا مَهْدِيُّ أَعْطِنِي. فَيَقُولُ: خُذْ

“Akan datang pada umatku Al-Mahdi bila masanya pendek maka tujuh tahun, kalau tidak maka 9 tahun. Maka umatku pada masa itu diberi kenikmatan dengan kenikmatan yang tidak pernah mereka rasakan yang semacam itu sama sekali. Mereka diberi rizki yang luas. Mereka tidak menyimpan sesuatu pun. Harta saat itu berlimpah sehingga seseorang bangkit dan mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku.’ Diapun menjawab: ‘Ambillah’.” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 4083, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi, 4/412, dan Al-Hakim no. 8739. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menghasankannya)

Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan:

فَيَجِيْءُ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَيَقُوْلُ: يَا مَهْدِيُّ، أَعْطِنِي، أَعْطِنِي. قَالَ: فَيَحْثِي لَهُ فِي ثَوْبِهِ مَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَحْمِلَهُ

“Sehingga datang kepadanya seseorang seraya mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku, berilah aku.’ Nabi mengatakan: “Maka Mahdi menuangkan untuknya di pakaiannya sampai ia tidak dapat membawanya.”

Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Di masanya, buah-buahan banyak. Tanam-tanaman lebat, harta benda melimpah. Penguasa benar-benar berkuasa, agama menjadi tegak, musuh menjadi hina, kebaikan terwujud di masanya terus-menerus.” (An-Nihayah Fil-Malahim 1/18, Program Maktabah Syamilah)

Dalam riwayat Al-Hakim, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْرُجُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ يُسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ، وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهَا، وَيُعْطِي الْمَالَ صِحَاحًا، وَتَكْثُرُ الْمَاشِيَةُ وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ، يَعِيْشُ سَبْعاً أَوْ ثَمَانِيًا - يَعْنِيْ حِجَجًا -

“Muncul di akhir umatku Al-Mahdi. Allah menyiramkan hujan, sehingga bumi mengeluarkan tanamannya. Ia membagi harta secara merata. Binatang ternak semakin banyak, umat pun menjadi besar. Ia hidup selama 7 atau 8 –yakni tahun–.” (HR. Al-Hakim, Kitabul Fitan wal Malahim no. 8737. Beliau mengatakannya sebagai hadits yang shahih sanadnya, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Ibnu Khaldun. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Sanadnya shahih.” Lihat Ash-Shahihah, 4/40, hadits no. 1529)

Waktu Munculnya

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi disebutkan: “Ketahuilah, yang sudah dikenal di kalangan seluruh pemeluk Islam sepanjang masa bahwa di akhir zaman pasti muncul seorang dari ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang membela agama dan menebarkan keadilan, serta diikuti oleh muslimin. Ia juga menguasai kerajaan-kerajaan Islam. Ia dijuluki Al-Mahdi. Juga tentang keluarnya Dajjal serta tanda-tanda kiamat sesudahnya yang terdapat dalam kitab Shahih, muncul setelahnya. Dan bahwa kemunculan ‘Isa juga setelahnya, kemudian beliau membunuh Dajjal. Atau ‘Isa turun setelahnya lalu membantunya untuk membunuh Dajjal kemudian bermakmum kepada Mahdi dalam shalatnya.” (Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi)

At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dari Zir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي

“Dunia tidak akan lenyap hingga seorang dari keluargaku menguasai bangsa Arab. Namanya sesuai dengan namaku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2230, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi, 4/438 dan beliau mengatakan: “Hasan shahih.” Demikian pula yang dikatakan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari sini, berarti munculnya Al-Imam Al-Mahdi adalah di akhir zaman sekaligus mengawali tanda-tanda besar akan datangnya kiamat. Namun sebagian ulama sempat ragu, apakah Mahdi ini sebagai awal tanda yang besar atau tanda yang lain. Sebagian ulama menyatakan dengan yakin bahwa Mahdi sebagai tanda pertama, lalu berturut-turut datang tanda yang lain. Di antara yang menyebutkan dengan tegas yang demikian adalah Muhammad Al-Barzanji rahimahullahu (wafat 1103 H). Beliau mengatakan dalam bukunya Al-’Isya`ah li Asyrath As-Sa’ah: “Bab Ketiga, tanda-tanda besar dan tanda-tanda yang dekat, yang setelahnya tibalah hari kiamat, dan itu juga banyak. Di antaranya Al-Mahdi, dan itu yang pertama.” (dinukil dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi Al-Muntazhar)

Adapun Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Munculnya, nanti di akhir zaman. Dan saya kira, keluarnya adalah sebelum turunnya ‘Isa bin Maryam, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu.”

Masa Kekuasaannya

Terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi:

إِنَّ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيَّ يَخْرُجُ يَعِيْشُ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ تِسْعًا -زَيْدٌ الشَّاكُّ- قَالَ: قُلْنَا: وَمَا ذَاكَ؟ قَال: سِنِيْنَ.

“Sesungguhnya pada umatku ada Al-Mahdi. Ia muncul, hidup (berkuasa) 5 atau 7 atau 9.” –Zaid (salah seorang rawi/periwayat) ragu–. Abu Sa’id mengatakan: “Apa itu?” Beliau menjawab: “Tahun.”

يَكُوْنُ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ إِنْ قُصِرَ فَسَبْعٌ وَإِلاَّ فَتِسْعٌ

“Akan datang pada umatku Al-Mahdi, bila masanya pendek maka 7 tahun, kalau tidak maka 9 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4083)

Dengan perbedaan riwayat ini, maka Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa paling lama masa tinggal (kekuasaan)-nya adalah 9 tahun, dan sedikitnya 5 atau 7 tahun.” (An-Nihayah Fil Malahim wal Fitan, 1/18, Program Maktabah Syamilah)

Sementara Al-Mubarakfuri mengatakan: “Yakni, keraguan itu berasal dari Zaid. Sementara dari shahabat Abu Sa’id dalam riwayat Abu Dawud: ‘dan menguasai selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Demikian pula dalam hadits Ummu Salamah dalam riwayat Abu Dawud dengan lafadz ‘maka dia tinggal selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Maka riwayat yang tegas lebih dikedepankan daripada yang ragu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/15, Program Maktabah Syamilah)

Asal Munculnya

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa munculnya dari arah timur atau Al-Masyriq. Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:

“Munculnya Mahdi dari negeri-negeri timur bukan dari gua Samarra, seperti disangka oleh orang-orang bodoh dari kalangan Syi’ah.” (An-Nihayah Fil Malafim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَ فِتْيَةٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَلَمَّا رَآهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ وَتَغَيَّرَ لَوْنُهُ. قَالَ: فَقُلْتُ: مَا نَزَالُ نَرَى فِي وَجْهِكَ شَيْئًا نَكْرَهُهُ. فَقَالَ: إِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ اخْتَارَ اللهُ لَنَا اْلآخِرَةَ عَلَى الدُّنْيَا، وَإِنَّ أَهْلَ بَيْتِي سَيَلْقَوْنَ بَعْدِي بَلاَءً وَتَشْرِيْدًا وَتَطْرِيْدًا حَتَّى يَأْتِيَ قَوْمٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ مَعَهُمْ رَايَاتٌ سُوْدٌ فَيَسْأَلُوْنَ الْخَيْرَ فَلاَ يُعْطَوْنَهُ فَيُقَاتِلُوْنَ فَيُنْصَرُوْنَ فَيُعْطَوْنَ مَا سَأَلُوا فَلاَ يَقْبَلُوْنَهُ حَتَّى يَدْفَعُوْهَا إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا كَمَا مَلَئُوْهَا جَوْرًا، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَلْيَأْتِهِمْ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ

“Tatkala kami berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok pemuda dari Bani Hasyim. Ketika Nabi melihat mereka, kedua mata beliau berlinang air mata dan berubahlah roman mukanya. Maka aku katakan: ‘Kami masih tetap melihat pada wajahmu sesuatu yang tidak kami sukai.’ Lalu beliau menjawab: ‘Kami ahlul bait. Allah telah pilihkan akhirat untuk kami daripada dunia. Dan sesungguhnya sepeninggalku, keluargaku akan menemui bencana-bencana dan pengusiran. Hingga datang sebuah kaum dari arah timur, bersama mereka ada bendera berwarna hitam1. Mereka meminta kebaikan namun mereka tidak diberi, lalu mereka memerangi dan mendapat pertolongan sehingga mereka diberi apa yang mereka minta, tetapi mereka tidak menerimanya. Hingga mereka menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang dari keluargaku. Lalu ia memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana orang-orang memenuhinya dengan kezhaliman. Barangsiapa di antara kalian mendapatinya maka datangilah mereka, walaupun dengan merangkak di atas es’.” (HR. Ibnu Majah no. 4082, sanadnya hasan lighairihi menurut Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Adh-Dha’ifah, 1/197, pada pembahasan hadits no. 85)

As-Sindi mengatakan: “Yang nampak, kisah itu merupakan isyarat keadaan Al-Mahdi yang dijanjikan. Oleh karena itu, penulis (Ibnu Majah) menyebutkan hadits ini dalam bab ini (bab keluarnya Al-Mahdi).”

Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Dan orang-orang dari timur mendukung (Al-Mahdi), menolongnya dan menegakkan agamanya, serta mengokohkannya. Bendera mereka berwarna hitam, dan itu merupakan pakaian yang memiliki kewibawaan, karena bendera Rasulullah berwarna hitam yang dinamai Al-Iqab.” (An-Nihayah fil Malahim, 1/17, Program Maktabah Syamilah)

Beliau juga mengatakan: “Maksudnya, Al-Mahdi yang terpuji yang dijanjikan keluarnya di akhir zaman asal munculnya adalah dari arah timur, dan diba’iat di Ka’bah seperti yang disebutkan oleh nash hadits.” (idem, 1/17)

Tentang tempat bai’atnya telah diisyaratkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang dibai’at di antara rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim).” (HR. Ibnu Hibban no. 6827, Ahmad, dan Al-Hakim; dan beliau menshahihkannya)

Proses Munculnya Al-Imam Al-Mahdi

Munculnya Al-Imam Al-Mahdi bukan bak sulap batil, yang seolah muncul tanpa sebab dan tiba-tiba. Namun munculnya tentu mengikuti sunnatullah pada alam ini, yakni melalui proses yang menuju ke arah sana.

Menjelaskan hal itu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “…Nabi memberikan kabar gembira tentang akan datangnya seseorang dari keluarganya dan beliau menyebutkannya dengan sifat-sifat yang menonjol. Di antara yang sifat terpenting adalah bahwa beliau berhukum dengan Islam dan menebarkan keadilan di antara manusia.

Jadi, pada hakikatnya beliau termasuk para mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di penghujung tiap 100 tahun, sebagaimana telah shahih berita (tentang hal ini) dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini (keberadaan mujaddid di tiap satu abad) juga bukan berarti tidak perlu berupaya mencari ilmu dan mengamalkannya untuk memperbarui agama. Sehingga, akan keluarnya Al-Mahdi tidaklah berarti bermalas-malasan karenanya, serta tidak bersiap atau beramal untuk menegakkan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Bahkan sebaliknya (beramal) itulah yang benar, karena Al-Mahdi tidak mungkin upayanya lebih dari Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selama 23 tahun berbuat untuk mengokohkan pilar-pilar Islam dan menegakkan negaranya.

Maka kira-kira apa yang akan dilakukan Al-Mahdi seandainya ia muncul dan mendapati kaum muslimin dalam kondisi terpecah, berkelompok-kelompok dan ulama mereka (muncul) –kecuali sedikit dari mereka– (karena) orang-orang telah menjadikan mereka sebagai para pemimpin. Tentu (Al-Mahdi) tidak akan dapat menegakkan negara Islam kecuali setelah mempersatukan kalimat mereka dan menyatukan mereka dalam satu barisan serta dalam satu bendera.

Dan ini –tanpa diragukan– membutuhkan waktu yang panjang, Allah Maha Tahu tentangnya. Syariat serta akal, keduanya mengharuskan agar orang-orang yang ikhlas dari kalangan muslimin menjalankan kewajiban ini. Sehingga manakala Al-Mahdi keluar, tiada kebutuhan kecuali tinggal menggiring mereka kepada kemenangan. Kalaupun belum keluar, maka mereka pun telah melakukan kewajiban mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ

“Dan katakanlah: ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalan kalian itu’.” (At-Taubah: 105) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 4/42-43]

Wallahu a’lam.

1 Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Bendera itu bukanlah yang dibawa Abu Muslim dari Khurasan yang kemudian menghancurkan dinasti Bani Umayyah pada tahun 132 H. Namun bendera hitam lain, yang datang mengiringi Al-Mahdi.” (An-Nihayah, 1/17)

Bukan pula pasukan Thaliban yang di Afghanistan, sebagaimana yang disebut dalam poster berjudul Huru-Hara Akhir Zaman karya Amin Muhammad Jamaludin yang laris itu. Selebaran itu sendiri sarat dengan berbagai ramalan dan takwil (baca: penyelewengan makna) hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda hari kiamat. Hendaknya kaum muslimin tidak lekas terkesima dengan takwil semacam itu. Sebagaimana pula hal ini tidak berarti mengingkari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa akhir zaman.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=508

Senin, 04 Januari 2010

Ketetapan Hari Kebangkitan (2) Revisi

Ketetapan Hari Kebangkitan (2) Revisi
Senin, 29-September-2008, Penulis: Buletin Al Atsary, Cileungsi



Kaum Muslimin yang kami muliakan, pada bahasan sebelumnya kita telah membahas tentang kepastiannya Ba’ats (Hari kebangkitan setelah mati). Kali ini Insya Allah Ta’ala kita akan memaparkan secara ringkas bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan.


BA’ATS ADALAH MENGEMBALIKAN JASAD YANG TELAH HANCUR DAN BUKAN PENCIPTAAN JASAD YANG BARU

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, Kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"(QS Ar Rum:27)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan melaksanakannya"(QS Al Anbiya:104)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Dzat yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk."(QS Yasiin:78-79)

Didalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Tidaklah penciptaan yang pertama lebih mudah bagiku dari mengembalikannya" (HR Bukhari 4973)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin ketika menjelaskan perkataan Ibnu Taimiyah: "Dikembalikan ruh-ruh kepada jasadnya": (ini) dalil bahwa Ba’ats itu adalah mengembalikan jasad yang pernah ada bukan menciptakan jasad yang baru (dan pengembalian jasad tersebut adalah) mengembalikan jasad yang telah punah dan berubah. karena jasad manusia berubah menjadi tanah, tulang manusia menjadi lapuk. Kemudian Allah Ta’ala menyatukan kembali tubuh yang telah bercerai tersebut hingga menjadi jasad yang sempurna kemudian dikembalikanlah semua ruh kepada jasad-jasadnya.adapun orang yang menyangka akan adanya penciptaan jasad yang baru, sangkaan ini adalah batil terbantahkan oleh Alqur’an dan sunnah serta akal.(Syarah Aqidah alwasithiyah karya Syaikh Muhammad al Utsaimin)


HUKUM ORANG ORANG YANG MENGINGKARI BA’ATS

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: Barang siapa yang mengingkari Ba’ats telah kafir,

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Bahkan, demi Robku, benar-benar kalian akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepada kalian apa yang Telah kalian kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Allah Ta’ala"(QS At Taghabun:7)

(Lihat Al Utsuluts Tsalatsah)

Berkata Syaikh Hafidzh Alhakamy: Dia (yakni orang yang mengingkari Ba’ats) telah kafir kepada Allah Ta’ala, kepada kitab-kitab dan para RasulNya (A’lamus sunnah manshurah:Hal96)


BANTAHAN KEPADA ORANG YANG MENGINGKARI BA’ATS

1. Masalah Ba’ats ini telah mutawatir (teramat banyak) penukilannya dari para nabi dan rasul didalam kitab-kitab yang Allah Ta’ala turunkan dan telah diterima oleh umat. Bagaimana kalian mengingkarinya tapi kalian menerima penukilan filosof dan pemikir yang menyimpang, padahal penukilan mereka tidaklah sampai derajat penukilan berita adanya Ba’ats, tidak dalam cara penyampaiannya ataupun kenyataan yang terjadi


2. Perkara Ba’ats telah dipersaksikan akal akan kemungkinannya, hal ini terbukti dari beberapa sisi:

a. Semua orang tidaklah mengingkari bahwa dia diciptakan (sebelumnya) dari tidak ada. Lalu Dzat yang menciptakannya menjadikan dari sesuatu yang tidak ada, (Maka alangkah mudahnya bagi)Yang Maha Kuasa untuk mengembalikannya sebaimana menciptakan dia dari tidak ada.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, Kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya"(QS Ar Rum:27)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Sebagaimana kami telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan melaksanakannya" (QS Al Anbiya:104)


b. Semua manusia tidak mengingkari tentang besarnya penciptaan langit dan bumi, karena keduanya adalah makhluk yang besar dan indah bentuknya. Dzat yang telah menciptakan keduanya Maha kuasa untuk menciptakan manusia dan mengembalikan mereka (hidup) setelah matinya.

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui"(QS Ghafir:57)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah Ta’ala yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak merasa payah dalam menciptakannya Maha Kuasa untuk menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) Sesungguhnya dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan tidaklah Dzat yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, dia berkuasa. dan dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia"(QS Yasiin:81-82)

c. Semua orang yang punya penglihatan bisa menyaksikan tanah yang tandus tidak bisa menumbuhkan tanaman, ketika turun hujan menjadi subur dan tumbuh tanaman-tanaman diatasnya setelah (sebelumnya) mati. Maka Dzat yang telah menghidupkan tanah setelah matinya, maha kuasa untuk menghidupkan manusia yang sudah mati dan membangkitkannya.

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya dia Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Fushilat:39)


3. Masalah Ba’ats ini telah dipersaksikan oleh indera dan kenyataan akan kemungkinannya, sebagaimana yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita adanya kejadian-kejadian yang pernah ada dihidupkannya makhluk setelah mati oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: "Bagaimana Allah Ta’ala menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?" Maka Allah Ta’ala mematikan orang tersebut seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah Ta’ala bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah Ta’ala berfirman: "Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan Lihatlah keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana Allah Ta’ala menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu."(QS Al Baqarah:259)




4. Hikmah menghendaki adanya Ba’ats setelah kematian, yaitu agar semua jiwa mendapatkan balasan apa yang telah dilakukannya. Kalaulah tidak ada Ba’ats niscaya diciptakannya manusia hanyalah sia-sia, tak ada nilainya dan tidak ada hikmahnya. Tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan ternak dalam kehidupan ini.

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Apakah kalian mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kalian secara main-main (sia-sia), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?Maka Maha Tinggi Allah Ta’ala, raja yang Sebenarnya; tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia"(QS Al Mukminun:115-116)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri mendapatkan balasan apa yang telah dilakukannya"(QS Thaha:15)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Mereka bersumpah dengan nama Allah Ta’ala dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah Ta’ala tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah Ta’ala akan membangkitnya), suatu janji yang benar dari Allah Ta’ala, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui, Agar Allah Ta’ala menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, agar orang-orang kafir itu mengetahui bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia"(QS An Nahl:38-40)

Allah Ta’ala berfirman (Artinya): "Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Bahkan, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Allah Ta’ala"(QS At Taghabun:7)

(Diringkas dari syarah Utsuluts Tsalatsah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin). Walhamdulillah.

(Disusun oleh Ust. Abdurrahman Mubarak)

Buletin Al Atsary Diterbitkan Oleh: Yayasan Riyadhul Jannah Cileungsi Pembina: Al Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak Pemimpin Redaksi: Abu Umair Qomar Sirkulasi Umum: AbuSufyan Hamzah Alamat Redaksi: Yayasan Riyadhul Jannah Jln.Raya Narogong Kp.Cikalagan RT 02/01 (Depan Pasar Baru Cileungsi) Berlangganan dan Info Kajian Umum Ahlussunnah Wal Jama’ah . Hubungi 08 567 133 567

Kepada Siapa Hati Kita Bergantung?

Rabu, 01-Oktober-2008, Penulis: Al Ustadz Ayub Abu Ayub

"Mbah, permisi ya!" Kata-kata ini atau yang semakna ini acap kali terdengar ketika seseorang menginjakkan kakinya di wilayah yang kelihatannya jarang dikunjungi oleh makhluk yang bernama manusia. Atau sebagai kata-kata yang sering dilontarkan ketika melewati sebuah jalan tertentu yang diyakini seandainya mereka yang lewat tidak mengucapkannya maka sangat dikhawatirkan malapetaka akan menimpanya. Ritual penyembelihan ayam hitam juga kerap dilakukan dalam rangka menolak bala. Tempat yang sering terjadi musibah di situ mesti dicucuri darah ayam hitam ini. Tentu saja dengan keyakinan dan harapan angka kecelakaan bisa hilang atau diminimalisir. Begitu juga upacara-upacara yang mempersembahkan sesajen-sesajen lengkap dengan kepala kerbaunya kepada para "penguasa" alam ini. Mulai dari "penguasa" hutan, gunung, laut, kampung, dusun, kota, hingga kepada "penguasa" jalan. Jimat-jimat, rajah-rajah dan berbagai macam bentuk simbol keberuntungan juga banyak menghiasai rumah, toko, pabrik, kantor, tubuh, dan lain sebagainya, seraya berharap keberuntungan selalu mendampingi usaha mereka.



Tak bisa diingkari lagi bahwa fenomena ini memang terjadi di tengah-tengah kita. Bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Seseorang yang paling berpendidikan sekalipun kadang tak luput dari hal-hal yang demikian. Mereka yang terdidik untuk berpikir secara rasional ternyata kerasionalan itu hilang begitu saja ketika berhadapan dengan hal yang demikian. Kenapa ini bisa terjadi?



Ini terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati terhadap hal-hal yang diyakini tersebut. Ketika seseorang permisi -untuk melalui suatu jalan atau mendatangi suatu tempat asing- kepada yang dianggap berkuasa di tempat itu maka sesungguhnya itu terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati orang tersebut dengan sesuatu tadi. Dengan adanya ketergantungan dan keterkaitan hati ini dia berkeyakinan bahwa sesuatu itu akan melindungi dia. Dia sandarkan nasibnya kepada sesuatu tersebut. Inilah yang terjadi. Lalu bagaimana Islam menghukumi terhadap hal-hal yang demikian?



Islam mengajarkan agar seseorang hanya menggantungkan dan mengaitkan hatinya kepada ALLAH semata. ALLAH-lah yang telah menciptakannya. ALLAH jua yang mengarunainya rezeki. ALLAH yang mengatur alam ini. ALLAH yang menguasai jagat raya ini. ALLAH yang berkuasa atas segala sesuatu. ALLAH yang melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. ALLAH Dzat yang Maha Mendengar. ALLAH Dzat yang Maha Melihat. ALLAH Dzat yang Maha Mengetahui. ALLAH yang mengabulkan permintaan dan permohonan hamba-Nya. ALLAH yang memberi manfa'at dan madhorot. ALLAH dengan segala kesempurnaan dzat dan sifat-sifat-Nya. Sungguh amat pantas dan memang sudah semestinyalah bagi seseorang untuk menggantungkan dan mengaitkan hatinya hanya kepada ALLAH semata, Dzat yang Maha Sempurna.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

"Barang siapa yang bergantung kepada sesuatu maka dia serahkan kepadanya" (HR. Tirmidzi dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albany rahimahullah)



Yaitu barang siapa yang bergantung kepada sesuatu dan menjadikannya sebagai tujuan, sehingga dia menggantungkan harapan kepadanya dan menjadikannya sebagai penghilang rasa takutnya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada sesuatu tersebut dan akan bersandar kepadanya. Begitu pula, apabila seseorang hanya bergantung kepada ALLAH, maka dia akan menjadikan ALLAH sebagai tujuannya, dia gantungkan harapannya kepada-Nya, dan ALLAH-lah yang menghilangkan rasa takut yang ada pada dirinya. Dia serahkan dan sandarkan dirinya, hanya kepada ALLAH Ta'ala.



Sebaliknya, apabila dia bergantung kepada sesuatu selain ALLAH, maka dia akan berserah diri dan menyandarkan dirinya kepada sesuatu tersebut. Dan ini adalah salah satu bentuk kesyirikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barang siapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik" (HR. Imam Ahmad)



Seseorang yang menggantungkan jimat dalam rangka mengangkat malapetaka atau melindungi diri dari musibah berarti dia telah menggantungkan hatinya kepada jimat tersebut. Berarti pula dia telah menyandarkan dirinya dan hatinya kepada jimat tersebut. Dia berkeyakinan bahwa jimat itu bisa melindungi dia dari mara bahaya. Padahal tidak ada yang bisa melindungi dia dari mara bahaya kecuali ALLAH Ta'ala. Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghukumi bahwa orang yang demikian telah berbuat syirik. Kenapa? Karena hatinya sudah bergantung dan bersandar kepada selain ALLAH, dan ini sangat bahaya.



Bahaya? Ya, karena syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Selain itu, orang yang menyandarkan hatinya tidak kepada ALLAH, maka hatinya akan menjadi lemah. Coba orang yang seperti ini dijauhkan dari jimatnya. Atau larang dia untuk mengucapkan kata "permisi" kepada "penunggu" kawasan. Atau cegah dia dari penyembelihan ayam hitam. Atau larang dia untuk mempersembahkan sesajen. Apa yang akan terjadi? Hatinya akan gelisah, resah, takut bahwa mara bahaya akan menimpanya. Khawatir keberuntungan tidak akan menyapanya. Cemas, harapannya tidak bisa terwujud. Apakah hati yang seperti ini bisa dikatakan sebagai hati yang kuat? Atau sebagai hati yang sehat? Bahkan sebaliknya, yang seperti ini adalah hati yang lemah dan sakit.



Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bertawakal hanya kepada ALLAH.

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

(Artinya: "Barang siapa yang bertawakkal hanya kepada ALLAH, maka ALLAH cukup baginya" )(Ath Tholaq: 3)





Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bersandar hanya kepada ALLAH.



حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

(Artinya:"Cukup bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat penyerahan diri" )(Ali Imran:173)



Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang meminta pertolongan hanya kepada ALLAH.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

(Artinya:"Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" ) (Al Fatihah: 5)



Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang berlindung hanya kepada ALLAH.



قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

(Artinya:"Katakanlah (-wahai Muhammad-): "Aku berlindung kepada Rabbnya Manusia") (An-Naas: 1)



Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang takut hanya kepada ALLAH.



فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

(Artinya: "Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman."(Ali Imran:175)



Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bergantung hanya kepada ALLAH saja.



Ketahuilah, ketergantungan hati kepada selain Allah Ta'ala ada beberapa macam:

1. Ketergantungan hati yang menyebabkan sirnanya nilai tauhid secara keseluruhan, yaitu dia bergantung kepada sesuatu yang sebenarnya tidak mempunyai pengaruh sama sekali, dan bersandar kepadanya, yang menyebabkan dia berpaling dari ALLAH Ta'ala. Seperti; ketergantungan para penyembah kuburan terhadap para penghuninya -untuk melepaskannya dari musibah-musibah yang menimpanya-. Oleh karena itu, jika mereka menemui mara bahaya yang dahsyat, mereka akan mengatakan, "Wahai fulan, selamatkanlah kami!" Yang demikian ini -tidak diragukan lag-i adalah kesyirikan yang besar, yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

2. Ketergantungan hati yang melenyapkan kesempurnaan tauhid. Yaitu, ketika seseorang bersandar kepada sebab-sebab yang dibolehkan oleh syari'at ini, akan tetapi dia lalai terhadap yang menciptakan sebab-sebab tersebut, yaitu ALLAH 'Azza wa Jalla, dan dia tidak memalingkan hatinya kepada-Nya. Dan ini adalah salah satu bentuk kesyirikan. Tetapi tidak dikatakan syirik besar, karena sebab-sebab ini memang telah ALLAH jadikan sebagai sebab.

3. Dia bergantung dengan sebab semata-semata hanya karena itu sebagai sebab saja. Sementara penyandaran asalnya masih hanya kepada ALLAH Ta'ala. Maka dia berkeyakinan bahwa sebab ini adalah dari ALLAH Ta'ala, dan bahwasanya ALLAH -kalau Dia menghendaki akan menghilangkan pengaruhnya atau membiarkannya-. Dan dia berkeyakinan, bahwasanya sebab tersebut tidak akan memiliki pengaruh kecuali dengan kehendak ALLAH Ta'ala. Yang demikian itu tidaklah mengurangi sama sekali kesempurnaan tauhidnya.



Lihatlah akhir dari keadaan seseorang yang menggantungkan hatinya kepada selain ALLAH. Akhir yang menakutkan dan mengerikan. Akhir yang penuh dengan risiko dan mara bahaya. Siapakah kiranya -orang berakal- yang menginginkan hatinya menjadi lemah. Siapa juga yang sudi hatinya menjadi sakit. Bahkan akhirnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan yang sangat berbahaya.



Jika seseorang terjatuh ke dalamnya,k hanya dengan rahmat ALLAH serta taufiq-Nya sajalah dia biasa bangkit dan selamat dari jurang tersebut. Tanpa itu, mustahil seseorang akan selamat.



Sudah saatnya bagi kita untuk bercermin, kemudian berkata;

Kepada siapa selama ini hati ini aku gantungkan? Kepada siapa selama ini hati ini aku sandarkan? Kepada siapa selama ini jiwa ini aku serahkan? Kepada-Mu kah ya ALLAH, atau kepada jimat-jimat yang tergantung indah? Atau kepada para "penguasa" alam tersebut yang katanya bisa melindungi? Atau kepada secuil pekerjaan yang menjanjikan? Atau kepada mereka yang katanya akan menjamin kebahagiaan hidupku? Atau, kepada siapakah?

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang hanya bertawakal kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang selalu bersandar kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang menggantungkan hatinya hanya kepada-Mu.

Buletin Jum'at Risalah Tauhid -Depok- edisi 83
http://www.mimbarislami.or.id/?module=artikel&action=detail&arid=118